Rabu, 07 Desember 2011

Menangkap Jakarta Lewat Senja Beragam Rasa


Judul Film                   : Jakarta Maghrib
Sutradara dan Penulis : Salman Aristo (Penulis skenario Ayat-Ayat Cinta dan Laskar Pelangi)
Pemain                        : Lukman Sardi, Reza Rahardian, Adina Wirasti, Ringgo Agus Rahman, Dedi   Mahendra Desta, Fanny Fabriana, Indra Birowo, Widi Mulia, Asrul Dahlan, Ence Bagus, Sjafrial Arifin, Aldo Tansani, Yurike Prastica, Ki Daus.
Produksi                      : Indie Picture
Durasi                          : 75 Menit

Menangkap Jakarta Lewat Senja Beragam Rasa

Jakarta. Apa yang terbersit dalam benak Anda saat mendengar kata Jakarta? Gedung bertingkat, macet, panas, dan tentu masih banyak lagi kata-kata senada yang bisa mengungkapkan keadaan Jakarta, ibu kota negara kita, Indonesia. Sungguh, sebenarnya Jakarta bukanlah tempat ideal dan kondusif yang diharapkan banyak orang. Berbagai polusi sudah merusak keindahan Jakarta yang sejatinya saja tak lebih indah dari sebuah pedesaan yang asri. Tapi, demi sesuap nasi, banyak orang berbondong-bondong meninggalkan tanah kelahirannya menuju Jakarta. Mencari sumber kehidupan dan memadati Jakarta yang kian penat.
Ketika kota menemukan titik tengahnya. Di antara sekian banyaknya produksi film Indonesia yang melulu menceritakan romansa cinta dan sejenisnya, “Jakarta Maghrib,” hadir memberikan warna yang berbeda untuk Anda saksikan. Merupakan film indie yang menceritakan suasana kota metropolotan menjelang Maghrib. Saat orang-oranag di Jakarta mulai kembali ke rumah setelah sehari penuh beraktivitas. Saat mereka harus bisa menaklukkan jalanan macet demi berkumpul dengan keluarga. Saat yang paling langka di tengah-tengah Jakarta karena sebagian orang bisa melakukan sholat Maghrib berjamaah di Musholla terdekat.
Jakarta Maghrib adalah sebuah usaha untuk menangkap suasana metropolitan saat sedang menuju kontemplasinya. Semua hubungan manusia menemui ambang batasnya di waktu Maghrib, itulah benang merah dari 6 cerita yang ada: Iman Cuma Ingin Nur, diperankan Indra Birowo & Widi Mulia. menceritakan tentang sepasang suami istri yang ingin bercinta. Dalam cerita ini terasa sekali dialog-dialog sosial yang menyentil pemerintah. Mulai dari gas elpiji dan lumpur Lapindo.
Adzan, menceritakan tentang seorang preman (Asrul Dahlan) dan penjaga masjid (Sjafrial Arifin). Adapun seorang kakek tua yang rajin membersihkan dan mengurus mesjid, meskipun jarang sekali ada orang yang melakukan ibadah di mesjid tersebut. Dengan tulus hati si kakek mau melakukan kegiatannya itu setiap hari. Namun di gang tersebut, ada seorang preman yang kerjaannya mabuk dan menodong uang anak kecil. Pada hari itu kebetulan kakek dan preman berbincang di warung si kakek yang berada di depan mesjid. Perbincangan tentang kehidupan religi. Pemahaman yang berbeda antara keduanya dan akhirnya membuat sang preman sadar.
Menunggu Aki, tentang penghuni kompleks perumahan (Lukman Sardi, Ringgo Agus Rahman, Dedi Mahendra Desta, Fanny Fabriana, Lilis) yang menunggu tukang nasi goreng langganan mereka. Penjaja nasi goreng yang terkenal karena kegurihannya, Aki, tak kunjung datang. Lima warga sebuah komplek perumahan yang merupakan penggemar berat nasi goreng Aki memutuskan untuk menunggunya di taman. Tapi tampaknya Aki tidak datang hari itu. Kelima warga ini pun terpaksa berkenalan satu sama lain. Suatu hal yang ironis. Meskipun telah bertetangga dalam hitungan tahun, mereka tak pernah saling mengenal. Dan sayangnya, ini sebuah kenyataan. Individualistis telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari Jakarta, selain kemacetan lalu lintas tentunya.
Jalan Pintas, tentang sepasang kekasih (Reza Rahadian & Adinia Wirasti) yang mencari jalan pintas. Mereka memerankan dua sejoli yang telah berpacaran selama tujuh tahun tapi belum juga mendapat kepercayaan dari orang tua masing-masing untuk melanjutkan ke jenjang berikutnya. Setting-nya sangat minimalis, di dalam mobil. Cekcok terjadi sepanjang perjalanan mereka menuju tempat pernikahan kerabat. Si cewek mulai merasa bahwa kekasihnya tidak menganggap hubungan mereka secara serius. Saat si cowok memutuskan untuk mengambil jalan pintas dan malah justru nyasar, tensi meninggi. Si cewek menyebut kekasihnya sebagai pria yang tidak mengerti arti prioritas.
Cerita Si Ivan, tentang anak kecil yang ketakutan (Aldo Tansani). Potret seorang bocah yang enggan mengakui kelemahannya dan malah bertindak bodoh untuk menutupi kelemahannya sendiri. Karakter macam ini kerap kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Ivan membolos dari madrasah demi bermain play station. Tapi yang terjadi kemudian adalah rental langganannya penuh. Dia pun mengarang kisah tentang seramnya Maghrib untuk mengusir para pelanggan. Berhasil. Namun saat adzan Maghrib mulai berkumandang, bulu kuduk Ivan berdiri. Dia kena batunya.
Ba’da, tentang pertemuan dari semua tokoh tersebut. Ba'da menjadi titik temu antara kelima kisah setelah masing-masing menemukan Maghrib-nya sendiri-sendiri serta membuka misteri hilangnya sosok Aki sang penjual nasi goreng dari segmen ketiga, Menunggu Aki.
Judul-judul tersebut merupakan realitas kehidupan di Jakarta yang diproyeksikan ke dalam sebuah film, melalui visi tajam seorang Salman Aristo, yang menjadikan film ini sebuah jaminan tontonan yang menarik. Sutradara yang sebelumnya sukses membesut Ayat-Ayat Cinta dan Laskar Pelangi  ini, seperti biasa berhasil menyisipkan pesan-pesan positif lewat kemasan drama yang menghibur. Salman berhasil mengambil sudut pandang suami istri, religi, relasi dengan tetangga, anak kecil & orang dewasa di saat menjelang Maghrib.