Rabu, 07 Desember 2011

Ayah



            Aku seketika terduduk. Nasihat ayah kembali mengalir bersamaan dengan air mineral yang menyentuh tenggorokanku. Untuk ke sekian kalinya nasihat itu terdengar di telingaku. Masuk telinga kanan dan keluar dari telinga kiri. Tak membekas. Nasihat yang ku anggap sebagai angin lalu. Padahal, jelas sekali bahwa nasihat ayah itu sangat bermanfaat.
“Minum sambil berdiri itu bisa menjadi salah satu penyebab doa kita tidak terkabul nduk,” ucapnya seraya mendekatiku. Aku terdiam. Menyadari kesalahanku yang belum bisa mendengarkan nasihat-nasihat mulianya.
Ayahku seorang petani di desa, tempat aku dilahirkan dua puluh tahun yang lalu. Ayah berangkat kerja sesaat sesudah aku berangkat ke sekolah. Saat aku masih duduk di bangku Sekolah Dasar, ayah selalu mengantarkanku berangkat ke sekolah walau hanya sampai di depan pintu. Di halaman rumah yang luas, ayah selalu menemaniku menunggu teman-teman sebayaku untuk berangkat bareng ke sekolah. Menatapku yang mulai mengayuh sepeda menjauh meninggalkannya yang tegak berdiri di depan rumah.
“Belajar yang serius ya, supaya dapat ilmu yang barokah,” nasihat ayah yang selalu ku dengar hampir setiap hari. Setiap saat ada kesempatan, ayah selalu mengulang nasihat itu. Sebuah nasihat yang sama. Nasihat yang mulai ku dengar sejak aku mulai berangkat ke sekolah beberapa tahun yang lalu.
Sesaat setelah itu, ayah pasti segera bergegas berangkat kerja dan bergegas pula pulangnya. Selalu begitu setiap hari. Tak ada hari libur dalam hidup ayah. Kecuali dua hari, hari raya. Saat aku bersorak riang menyambut libur panjang kenaikan kelas pun, ayah tak bisa membuang waktunya untuk pergi jalan-jalan seperti yang kulihat di televisi. Berlibur ke luar kota bersama keluarga. Ayah justru berangkat kerja lebih pagi karena tak perlu menungu aku berangkat ke sekolah. Mengumpulkan rupiah demi melihat putrinya tersenyum bahagia karena bisa membeli buku-buku pelajaran yang kian melangit harganya. Senyumnya pasti akan terlihat ketika aku membaca buku-buku itu dengan suara lantang.
Meski tak bisa berlibur atau jalan-jalan ke tempat-tempat wisata, namun tak jarang ayah berhasil membuatku terhibur dengan cerita-cerita yang lucu. Ayah berhasil mengisi hari liburku dengan berbagai kegiatan yang ternyata bermanfaat. Terkadang ayah mengajakku belajar mengenal budaya-budaya Jawa yang belum banyak ku ketahui. Kebudayaan yang harus kita lestarikan.
Itulah gambaranku tentang ayah. Tak banyak yang kutahu dari ayah, sampai aku mendengar cerita panjangnya tentang perjalanan hidup ayah. Saat aku menanyakannya langsung untuk tugas dari guru bahasa Indonesia. Menulis biografi orang yang kita cintai. Tanpa ragu, aku pun memilih menuliskan biografi ayah. Sebuah perjalanan hidup yang sangat menarik hingga aku mendapat apresiasi dari Bu Nur Hayani, guru bahasa Indonesia.
Banyak hal yang sebenarnya dapat kuteladani dari sifat ayah yang pendiam namun bersahaja itu. Namun, di usiaku yang memasuki dewasa ini, aku masih saja belum bisa membuatnya bahagia dengan menuruti nasihat-nasihatnya. Satu-satunya hal yang mungkin membuatnya bangga padaku, putri sulungnya adalah dengan prestasiku yang bisa dibilang lumayan baik. Walaupun tak seperti Mahmudah, adikku yang selalu berhasil membawa pulang hadiah saat menerima raport, tapi matanya selalu tersenyum setiap melihat hasil belajarku.
*****
            Istighfar, kalau sama teman itu yang rukun, kamu mengalah saja,”
            Pesan singkat Short Massage Service (SMS) dari ayah membalas curhatku hari itu. Ya, sejak kecil aku sering berbagi cerita kepada ayah. Jarak jauh ternyata membuatku semakin dekat dengan ayah. Ku ceritakan kepadanya tentang tingkat emosiku yang labil menghadapi sikap teman-temanku.
            Dua tahun yang lalu, aku memutuskan untuk merantau ke tanah Jawa. Tanah kelahiran ayah. Semula, tak berbeda dengan ibu, ayah tak meloloskan permintaanku itu. Namun, berkat bujuk rayu dan keinginanku untuk belajar di tanah kelahiran Arswendo Atmowiloto itu begitu kuat, hati ayah pun akhirnya luluh. Kini aku bisa menuntut ilmu di sebuah universitas tak jauh dari tempat sastrawan kondang itu dilahirkan.
            Keinginan untuk belajar di rantau sebenarnya sudah ada saat aku lulus dari Sekolah Menengah Pertama (SMP) lima tahun yang lalu. Namun, saat itu ayah berhasil mengurungkan niatku.
            “Sekolah di sini saja, Al-Islam itu juga bagus,” jawab ayah memberi referensi sekolah kepadaku. Aku diam. Dalam hati ada rasa kecewa mendengar jawaban ayah.
“Sekolah di Jawa dan Sumatra tak ada bedanya, tergantung kamu serius atau tidak,” jawaban ayah sesaat setelah aku matur mengutarakan keinginanku untuk kedua kalinya. Namun, aku tak menyerah begitu saja. Beberapa cara akan kulakukan untuk meyakinkan bahwa aku tak pernah main-main dengan keinginanku ini, ucapku dalam hati.
“Kamu itu perempuan nduk, apa kamu sudah bisa jaga diri kalau kamu jauh dari orang tua?” kali ini raut wajah ayah tampak serius menanggapi permohonan izinku. Untuk ke tujuh belas kalinya aku terus memohon kepada ayah untuk mengabulkan keinginanku. Sayangnya, untuk ke tujuh belas kalinya pula ayah menolak permintaanku.
“Bukannya ayah tidak mau kamu belajar jauh ke Jawa, ayah cuma belum tega melepas kamu sendirian di tanah orang,” kali ini suara ayah terdengar sangat datar. Aku diam menunduk. Dalam hati membenarkan ucapan ayah, namun di sisi lain aku sangat kecewa mendengarnya. Ingin rasanya aku marah kepada ayah. Namun, saat melihat wajahnya yang teduh aku terpaksa mengurungkan niatku.
Akhirnya, dengan setengah hati akupun menuruti saran ayah untuk tetap sekolah di tanah kelahiranku. Hampir tiga hari aku mogok ngomong sebagai unjuk rasaku ternyata tak membuat ayah berubah pikiran. Dia bersikukuh pada pendiriannya.
*****
“Assalamu alaikum wr wb
Gimana kabarnya? Sehat kan? Udah makan belum? Jangan lupa berdoa,”
Pesan singkat SMS itu kembali menghiasi layar hand phone-ku. Entah untuk yang ke sekian kalinya dalam satu hari. Bukan dari teman dekatku, bukan juga dari sahabat terbaikku. Melainkan pesan itu dari ayah. Beberapa hari ini ayah selalu menanyakan kabar tentangku. Hampir setiap saat, pesan singkat itu masuk ke dalam kotak masukku.
“Kamu apa kabar nduk?” Ku dengar suara parau ibu dari seberang sana. Seperti orang habis menangis.
“Kamu jaga kesehatan ya, kamu kan jauh dari ayah sama ibu,” lanjut ibu.
“Kamu nggak kasihan sama ayahmu? Dia tidak bisa tidur karena kepikiran kamu,”
“Deg,” telingaku bergetar mendengar kalimat terakhir ibu. Sejak dulu, ayah selalu bisa merasakan dengan apa yang menimpaku. Seperti ada ikatan batin yang sangat kuat dan saling menghubungkan jiwa kami. Ayah sering tak bisa konsentrasi melakukan pekerjaannya jika terjadi sesuatu dengan putrinya. Perlahan, ada sesuatu yang hangat keluar dari kelopak mata dan menyentuh pipiku. Seketika bayang-bayang wajah ayah terlintas jelas di benakku.
            Sejak beberapa hari yang lalu, aku meringkuk di dalam kamar. Cuaca akhir-akhir ini cukup mengganggu kesehatanku.
Setelah sekian tahun keinginan untuk belajar di tanah seberang itu lahir, kini aku baru menyadari mengapa dulu ayah bersikukuh tak mengizinkanku pergi meninggalkannya. Ayah lebih mengkhawatirkanku dari pada diriku sendiri. []
 Untuk ayahku, nomor satu di dunia!
 (Dimuat Joglosemar, 13 November 2011)